Senin, 05 Januari 2009




19 February 2004 00:00 (Warta UMKMK)



Pemberdayaan Petani Melalui PKS Mini


oleh : Nindya Nazara




Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki wilayah yang sangat luas dengan topografi dan iklim yang sangat menguntungkan, cocok untuk pengembangan agribisnis dan agroindustri. Hingga saat ini Indonesia menempati peringkat pertama dunia untuk areal tanaman sawit yang mencapai 3,2 juta hektar, menghasilkan CPO (crude palm oil) sebanyak 6,5 juta ton per tahun. Diproyeksikan sampai tahun 2012, produksi CPO Indonesia akan mencapai 15 juta ton per tahun, sehingga menempatkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Malaysia masih menguasai sekitar 50 persen pasar CPO dunia, disusul Indonesia (30 persen), dan Nigeria (10 persen). Potensi sawit Indonesia cukup besar, dimana pada tahun 2000 tercatat 3,2 juta hektar, naik 69,8 persen dari tahun 1996 yang baru 2,2 juta hektar. Selama 10 tahun terakhir terjadi pertumbuhan (growth) yang sangat cepat, dengan penyebaran masih terkonsentrasi di Sumatera terutama Sumatera Utara (612.617 hektar), Riau (616.615 hektar), Sumatera Selatan (309.761 hektar), Jambi (236.059 hektar), Aceh (206.405 hektar), dan Sumatera Barat (184.872 hektar). Daerah lain yaitu Kalimantan Barat (279.575 hektar), Kalimantan Tengah (110.376 hektar), disusul Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lampung, Bengkulu, Papua, dan daerah lainnya. Dalam pengembangan kelapa sawit tersebut, pemerintah telah memberikan subsidi melalui penyeluran kredit program, dengan pola perkebunan inti-plasma. Namun sejak krisis ekonomi tahun 1977, pembangunan pabrik yang merupakan kelanjutan dari paket perkebunan tersebut sempat terhenti. Akibatnya, timbul ketidakseimbang antara luasnya kebun dengan pertumbuhan pabrik, sehingga banyak petani, khususnya kecil, yang kesulitan dalam menjual hasil panennya. Banyak petani kebingungan menjual TBS (tandan buah segar), karena tidak adanya pabrik yang mau menampung. Posisi tawar petani sangat lemah, harga TBS ditentukan oleh pabrik. Pada beberapa dekade lalu timbul persepsi negatip terhadap PKS Mini yang disebabkan oleh beberapa hal: • Rekomendasi pemerintah untuk membangun PKS Mini berkapasitas 30 ton TBS per jam dikaitkan dengan paket program kebun KKPA dengan luasan minimal 5 ribu hektar. • Banyak perusahaan perkebunan swasta (PBSN) maupun perorangan yang telah mencoba membangun PKS Mini tetapi gagal. Kegagalan tersebut karena PKS Mini dinilai tidak efisien, yaitu dari segi ekstraksi rendemen yang dihasilkan, pemenuhan kapasitas olah, tingkat losses, dan ongkos produksi dikaitankan dengan bahan bakar yang digunakan. Dari luas kebun sawit Indonesia yang mencapai 3,2 juta hektar, terdapat kebun rakyat seluas 1,5 juta hektar (46,8 persen). Namun sayangnya, potensi TBS dari kebun rakyat tersebut belum bisa digarap secara optimal karena para petani tidak memiliki kemampuan finansial. Dibutuhkan investasi minimal 5 juta dolar AS untuk membangun satu unit PKS Mini berkapasitas 30 ton TBS per jam. Akibatnya, banyak petani yang menjual TBS kepada tengkulak (pengumpul) yang kemudian menjualnya kembali ke pabrik besar yang rata-rata memiliki kebun yang luas. Potensi sumber bahan baku (TBS) sebesar 1,5 juta ton per tahun dari hasil kebun rakyat, antara lain di Sumatera (1,1 juta ton), Kalimantan (247 ribu ton), Sulawesi (44,1 ribu ton), Papua (26,9 ribu ton), dan Jawa (12,5 ribu ton). Dari penyebaran luas kebun dan sumber bahan baku tersebut dihubungkan dengan penyebaran pabrik (prosessing), tampak adanya ketimpangan dimana perkebunan rakyat belum terlayani oleh pabrik yang saat ini ada. Hal inilah yang menjadi perhatian PT Permodalan Nasional Madani (Persero) melalui anak perusahaannya PT PNM Venture Capital (PNM VC) yang khusus membantu petani kecil untuk membangun industri processing sendiri berupa Pabrik Kelapa Sawit Mini (PKS Mini). Jika diasumsikan PKS Mini tersebut berkapasitas 5 ton TBS per jam, berarti masih diperlukan 702 unit PKS diseluruh Indonesia, dengan perincian: Sumatera (528 unit), Jawa (4 unit), Kalimantan (133 unit), Sulawesi (25 unit), dan Irian Jaya (11 unit). Besarnya kebutuhan PKS Mini tersebut tentunya merupakan peluang bagi kalangan investor dan lembaga keuangan. Jika setiap unit PKS membutuhkan investasi sebesar Rp 12 miliar (termasuk working capital), maka dibutuhkan dana sekitar Rp 8,4 triliun. Dalam realisasinya tentu harus disesuaikan dengan skala prioritas dan potensi di tiap-tiap daerah. Misalkan, dicanangkan menjadi program nasional dengan sasaran 10 persen atau 70 unit pada 5 tahun pertama. Dengan demikian dana yang dibutuhkan untuk tahap pertama ini hanya sekitar Rp 840 miliar. Kalau dana itu digunakan untuk membangun PKS besar, hanya 12 unit yang mampu dibangun, dengan biaya investasi mencapai Rp 70 miliar per unit. Pertanyaannya, mengapa tidak membangun PKS besar? Alasannya: pertama, biaya untuk pembangunan PKS berkapasitas di atas 30 ton TBS per jam) cukup besar, mencapai Rp 70 miliar, dimana untuk saat ini sulit untuk mendapatkan pembiayaan. Kedua, untuk pabrik besar diperlukan kebun sawit seluas 5 ribu hingga 10 ribu hektar, yang umumnya dimiliki oleh perkebunan besar (PTPN/PBSN) yang juga telah memiliki kebun dan pabrik sendiri. Ketiga, potensi luasan kebun rakyat yang mencapai 1,5 juta hektar umumnya dimiliki petani perorangan atau perkebunan skala kecil yang saat ini belum memiliki pabrik sendiri. Hasil panen dari petani kecil ini dijual kepada pabrik besar dengan posisi tawar yang lemah. Keempat, dengan penyebaran PKS yang tidak merata dan jauh dari kebun, telah menimbulkan biaya produksi tinggi, khususnya untuk transportasi, sehingga menekan tingkat keuntungan petani. Kelima, rawan terjadi konflik di lokasi perkebunan yang dikelilingi oleh kebun rakyat, dimana hasil TBS tidak tertampung oleh PKS milik inti, sehingga dapat menggangu kelangsungan kebun dan PKS inti. Keenam, dengan investasi yang relatif murah, petani (kelompok petani/koperasi) dapat membangun dan memiliki pabrik sendiri. Ketujuh, saat ini teknologi PKS Mini yang effisien telah dikembangkan dan sudah dibangun dengan pendanaan dari PT PNM Venture Capital (PNM VC) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang merupakan PKS Mini pertama di Indonesia dan telah beroperasi dengan baik. Kedelapan, kebun yang diperlukan hanya 1.500 hingga 2.000 hektar berupa kebun rakyat, menghemat waktu penanaman dan biaya pembangunan kebun. Pada prinsipnya, teknologi mesin PKS tidak terlalu rumit. Intinya adalah memeras buah (TBS) sehingga menghasilkan minyak. Baik kapasitas besar maupun mini tidak berbeda. Namun PKS Mini yang selama ini dibangun di dalam negeri yang dianggap gagal atau tidak effisien, adalah meng-copy atau mengecilkan ukuran (size) pabrik besar menjadi mini, dari kapasitas 30 ton TBS per jam menjadi 5 ton TBS per jam, dengan mengabaikan design dan fungsi masing-masing stasiun (unit kerja mesin). Kegagalan umumnya disebabkan masalah efisiensi, tingkat losses (rendemen CPO tidak mencapai 23 persen dan kernel 5 persen), bahan bakar menggunakan solar sehingga cost of production tinggi, sehingga pengembalian investasi menjadi panjang. Pada tahun 2002 lalu telah ditemukan/dikembangkan teknologi PKS Mini dengan metode sedikit berbeda, dimana kunci keberhasilannya terletak pada perubahan design dari stasiun tiap-tiap unit kerja mesin, terutama pada stasiun sterilizer (stasiun perebusan). Penambahan unit kerja berupa mesin pencacah dan pemakaian turbin sebagai sumber power pabrik dengan bahan bakar tandan kosong dan janjang hasil produksi (limbah pabrik). Prinsip kerja mesin masih sama dengan PKS besar, namun dengan merubah design sterilizer station-nya, sehingga menjadikan PKS Mini yang lebih effisien, dengan tingkat rendemen sekitar 23 persen. Kalau saja PKS Mini ini bisa dikembangkan di daerah lain, tentunya akan lebih banyak petani yang bisa ditingkatkan kesejahteraannya, sekaligus juga memberikan dampak ekonomi lainnya termasuk peningkatan perolehan devisa negara yang berbasis sumber daya lokal.


*> penulis adalah Investment Manager PT. PNM Venture Capital, artikel dimuat dalam warta UMKM tanggal 19 Februari 2004 dan dapat di downloan di google.com.

Tidak ada komentar: